JOHN WICK: CHAPTER - PARABELLUM (2019)
John Wick: Chapter 3 – Parabellum bakal menjadi keluaran terbaik dalam waralaba film aksi kebanyakan. Masalahnya, seri John Wick yang dimulai lima tahun lalu bukan suguhan aksi kebanyakan. Masih digawangi sutradara Chad Stahelski, Parabellum tetap merupakan tontonan brutal sesuai harapan penonton, pula menampilkan bangunan dunia unik berisi para pembunuh taat aturan, tapi mayoritas hanya pengulangan, sebatas jembatan menuju puncak, yang sejatinya bisa film ini hantarkan.
Melanjutkan akhir film kedua, John Wick (Keanu Reeves) dideklarasikan sebagai excommunicado pasca melakukan pembunuhan di Hotel Continental selaku tempat netral. Dihargai setinggi $14 juta, seluruh pembunuh di New York tidak berpikir ulang untuk mengincar nyawanya. Bukan itu saja, High Table mengutus sang Adjudicator (Asia Kate Dillon) guna menghukum pihak-pihak yang dianggap membantu kaburnya John, termasuk Winston (Ian McShane) si manajer Continental dan Bowery King (Laurence Fishburne).
Kehebatan jajaran penulis naskah seri John Wick adalah menjalin cerita sederhana soal “mengejar dan dikejar” sembari menyelipkan keping-keping yang melengkapi latar dunianya di sepanjang perjalanan. Elemen unik tersebut masih dapat ditemui, dari diharuskannya para karakter mematuhi kode moral yang acap kali menimbulkan situasi kompleks, detail di balik layar mengenai bagaimana prosedur organisasi dijalankan, sampai pengenalan Adjudicator yang memperkaya tatanan High Table.
Seri John Wick menciptakan latar di mana para pembunuh dituntut mematuhi kode etik, dan itu membentuk kepribadian mereka menjadi mesin pencabut nyawa berdarah dingin namun bermartabat. Sisi tersebut dimanfaatkan oleh tim penulis naskah untuk mengkreasi interaksi menarik berisi baris dialog kaya yang merepresentasikan dua wajah karakternya. Kata-kata mereka boleh terdengar bermartabat (ancaman membunuh terdengar semanis ucapan customer service ke pelanggan), tapi mereka tetap individu dunia hitam bengis yang memandang nyawa begitu murah pula tak ragu menerapkan cara kotor demi mencapai tujuan.
Sayangnya, jika film pertama berfungsi memperkenalkan dunianya sementara film kedua bertujuan memperkaya, kali ini segala detail tersebut bagai pernak-pernik belaka tatkala alurnya urung bergerak ke mana-mana. Parabellum hanya pengulangan karena kita sudah pernah melihat John diburu, tersudut, dan dikhianti. Masuknya nama-nama baru termasuk Elder (Saïd Taghmaoui) selaku pemimpin High Table tidak memberi dampak, karena begitu durasi usai, John berada di posisi serupa seperti di awal film. Konklusi Chapter 2 yang memberi impresi bahwa John bakal berperang melawan High Table pun tak ubahnya trik guna menjual film ketiga.
Terkait adegan aksi, Chad Stahelski dibatu penata kamera Dan Laustsen (The Shape of Water, John Wick: Chapter 2) setia mempertahankan gaya yang membuat seri ini dicintai penonton, berupa keengganan menyembunyikan detail melalui quick cut. Walau demikian, serupa alurnya, gaya gun-fu tak lagi sememukau itu selepas dua film pertama. Bos utama yang malah tampak mudah John habisi dibanding jajaran tukang pukulnya juga meninggalkan kekecewaan.
Khusus penonton Indonesia, momen sebelum klimaks jadi salah satu pemandangan paling dinanti, karena di sinilah Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian berhadapan melawan John Wick. Tidak sepenuhnnya memuaskan (intensitas koreografi jelas diturunkan demi memfasilitasi Keanu Reeves), dan kehadiran keduanya cenderung berupa fan service untuk penggemar The Raid. Setidaknya mereka bernasib lebih baik ketimbang Iko Uwais yang dipermalukan dalam Triple Threat saat diberi kesempatan memamerkan jurus di beberapa poin filmnya.
Parabellum justru paling mengundang decak kagum ketika pertarungan terjadi tanpa melibatkan senjata api. Lemparan puluhan pisau yang menancap di sekujur tubuh korban, buku tebal yang mampu mematahkan leher, sampai pemakaian kuda dan anjing, membuat saya antusias menebak-nebak metode eksekusi macam apa yang akan dipakai. Aksi adu bacok dibungkus koreografi memukau plus tata artistik memanjakan mata inilah bukti kepantasan John Wick sebagai seri aksi langka yang mampu mendefinisikan “The Art of Violence”.